SITUASI TERKINI PERKEMBANGAN
PROGRAM PENGENDALIAN MALARIA
DI PROVINSI
SUMATERA SELATAN TAHUN 2014
I.
PENDAHULUAN
Penyakit Malaria saat ini masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia, termasuk di Provinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan data yang didapat, sekitar 80%
Kabupaten/Kota telah melaporkan adanya kasus malaria. Berdasarkan KEPMENKES RI Nomor
293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria dan percepatan pencapaian MDGs,
maka berbagai upaya telah dilakukan Dinas Kesehatan Prov.Sumsel untuk
pemberantasan malaria, mulai dari penemuan kasus, pemeriksaan laboratorium,
pengobatan dan pengendalian vektor.
Indikator pencapaian program pemberantasan malaria yang
ditetapkan Kementerian Kesehatan RI
adalah nilai API (Annual Paracite Incidence) yaitu
jumlah kasus positif malaria dengan konfirmasi laboratorium per 1000 penduduk.
Berdasarkan peta di atas dapat diketahui, Kab/Kota yang
mempunyai API>1-5 per 1000 penduduk (berwarna kuning) adalah Kab.Lahat,
Kab.OKU dan Kota Lubuk Linggau.
Wilayah
tersebut merupakan wilayah endemis malaria, dimana sebagian besar penduduk
mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian/perkebunan dan pertambangan
sehingga kemungkinan kontak terhadap vektor lebih besar.
Grafik.1
Jumlah kasus klinis malaria Prov. Sumsel tahun 2014
sebanyak 42.062 kasus dengan AMI 5,3 per 1000 penduduk. Dari kasus klinis
tersebut yang dikonfirmasi laboratorium sebanyak 27.616 kasus dan jumlah positif
menderita malaria sebanyak 2.842 kasus dengan nilai API sebesar 0,36 per
1000 penduduk, nilai ini termasuk dalam kategori kasus malaria
rendah (low case incidence).
Kasus positif malaria yang tertinggi terdapat di Kabupaten
Lahat dengan API 2,94 per 1000 penduduk, kemudian Kota Lubuk Linggau dengan API
1,96 per 1000 penduduk dan Kabupaten OKU dengan nilai API 1,50 per 1000
penduduk .
Hingga saat ini terdapat 6 Kabupaten/ Kota yang endemis
malaria sedangkan Kabupaten/ Kota
lainnya digolongkan pada daerah sedang dan rendah. Penanganan kasus yang
diberikan pada umumnya melalui pengobatan Radikal dengan konfirmasi
laboratorium dan bagi kasus klinis tanpa konfirmasi diberikan pengobatan klinis
malaria di Puskesmas atau Rumah Sakit.
III. SITUASI TERKINI PROGRAM PENGENDALIAN MALARIA
Program pemberantasan penyakit malaria dilakukan dengan
menggunakan dana bersumber APBD, APBN dan bantuan Global Fund (GF). Adapun
situasi terkini program dan kegiatan
pemberantasan malaria tahun 2014 adalah sebagai berikut :
1.
Penemuan dan Tatalaksana Malaria
a. Persentase
Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi Laboratorium)
Adalah persentase suspek malaria yang dilakukan
konfirmasi laboratorium baik menggunakan mikroskop maupun Rapid Diagnostic Test (RDT) dari semua suspek yang ditemukan. Target yang
diharapkan adalah di atas 90 %. Dari tahun 2010-2014 pemeriksaan sediaan darah terus meningkat.
Pada tahun 2014, sebanyak 66 % dari seluruh penderita malaria klinis malaria yang
diperiksa secara mikroskopis, jumlah ini kurang dari target yang diharapkan.
Penyebabnya antara lain : kurangnya tenaga analis laboratorium di Puskesmas, ketidaklengkapan
peralatan laboratorium dan kurangnya kemampuan tenaga analis dalam memeriksa
mikroskopis malaria.
TABEL 2.
DATA PEMERIKSAAN MALARIA
|
KAB/KOTA
PROV.SUMSEL TAHUN 2014
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Jika dilihat per Kab/Kota, Kab/Kota yang persentase konfirmasi mikroskopisnya yang telah mencapai target di atas 90% pada tahun 2014, yaitu OKU, MUBA, M.Enim, Ogan
Ilir, PALI, Prabumulih, sedangkan Kab/Kota yang lain masih di bawah 90%.
b. Persentase
Penderita Malaria Positif yang Diobati dengan ACT
Adalah proporsi penderita positif yang diobati dengan ACT
dibandingkan dengan jumlah penderita positif. Angka ini digunakan untuk melihat
kualitas pengobatan kasus malaria apakah sesuai dengan standar nasional atau
tidak.
Target penggunaan ACT ini
adalah 80%. ACT
merupakan obat yang efektif untuk membunuh parasit malaria, sementara obat
malaria lama yang masih beredar yaitu klorokuin telah resisten. Penggunaan ACT
yang harus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium merupakan salah satu
upaya mencegah terjadinya resistensi. Persentase penderita malaria positif yang
diobati ACT pada tahun 2014 adalah sebesar 84 %, angka ini meningkat dibanding tahun 2013 yang hanya sebesar 75 %.
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa Kabupaten/ Kota yang belum
mencapai target pemakaian ACT di
atas 80% adalah Kab/Kota sebagai
berikut : OKI, Lubuk Linggau, OKU Timur, Banyuasin, Empat Lawang, PALI dan
Muratara.
c. Annual Paracite
Incidence (API)
API adalah jumlah kasus positif malaria per 1000 penduduk
pada satu tahun. API ini digunakan untuk menentukan trend morbiditas malaria
dan menentukan endemisitas suatu daerah (masih terjadi penularan malaria). API
juga merupakan salah satu syarat suatu daerah masuk dalam fase eliminasi
malaria yaitu API < 1 per
1000 penduduk.
Pada tahun 2014, nilai
API menurun menjadi 0,36 per 1000 penduduk. Namun hal ini belum bisa memastikan
sepenuhnya endemisitas rendah, dikarenakan masih terdapat diagnosa klinis tanpa
pemeriksaan mikroskopis malaria. Diharapkan pada tahun 2014, penemuan kasus
malaria positif dapat dilakukan dengan maksimal sehingga didapatkan data yang
lebih valid.
Berdasarkan grafik
di atas didapatkan bahwa, Kab/Kota yang memiliki nilai API tertinggi pada tahun
2014 yaitu Kab. Lahat dengan API 2,94 per 1000 penduduk, lalu Kab.OKU mengalami
penurunan API dari 2,68 pada tahun 2013 menjadi 1,50 per 1000 penduduk pada
tahun 2014 dan Kota Lubuk Linggau dengan API 1,96 meningkat dibandingkan tahun
2013 sebesar 1,73 per 1000 penduduk.
d. Kejadian Luar Biasa (KLB)
Malaria
Pada tahun 2014, tidak terjadi KLB Malaria.
2.
Upaya
Pencegahan Penularan Malaria
Distribusi dan
penggunaan kelambu berinsektisida
Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu
strategi untuk mengurangi faktor resiko penularan malaria. Kelambu dibagikan
kepada penduduk yang tinggal di daerah endemis tinggi malaria (API>5 per
1000), dengan target minimal 80% penduduk di daerah tersebut mendapatkan
perlindungan kelambu berinsektisida. Setiap keluarga mendapatkan 2 buah
kelambu. Sedangkan di daerah endemis sedang (API 1-5 per 1000) kelambu
dibagikan hanya kepada kelompok resiko tinggi yaitu ibu hamil dan bayi. Pada
tahun 2014 telah didistribusikan sekitar 51.259 buah kelambu berinsektisida
bersumber APBN/GF Malaria.
3.
Kinerja
Surveilans Malaria
a. Pola
maksimum minimum
Pola maksimum minimum digunakan untuk
menentukan periode puncak penularan, puncak kasus dan penentuan waktu yang
tepat untuk melakukan kegiatan pengendalian malaria.
Kondisi
di atas menggambarkan bahwa, kasus malaria pada tahun 2014 masih aman.
Berdasarkan grafik, puncak kasus terjadi pada bulan Januari dan September,
sehingga dapat diperkirakan puncak kepadatan nyamuk terjadi sekitar bulan
Desember dan Agustus. Untuk efektifitas pengendalian jumlah kepadatan vektor maka
kegiatan pengendalian vektor malaria dapat dilakukan pada bulan November dan
Juli.
b.
Distribusi
kasus malaria
Kasus malaria dapat terjadi pada semua
golongan umur dan jenis kelamin, terutama di daerah endemis. Pada tahun 2014,
kasus tertinggi pada penduduk umur ≥15 tahun sebanyak 1.568 kasus. Hal ini
dikarenakan usia tersebut merupakan usia produktif dengan mobilitas tinggi,
sehingga potensi terjangkit malaria lebih besar.
Penderita malaria usia 0-11bln dan 1-4
thn sebanyak 77 dan 405 kasus juga membutuhkan perhatian khusus, hal ini bisa
mengindikasikan adanya penularan malaria setempat (kasus indigenous).
Grafik 6
4.
Ketersediaan
Logistik Malaria
a. RDT
(Rapid
Diagnostic Test)
Saat ini proporsi penggunaan RDT dalam diagnosis malaria
positif adalah 16%, sedangkan penggunaan mikroskop sebesar 84%. RDT digunakan
untuk skrinning darah malaria, terutama pada fasilitas kesehatan yang belum
mempunyai tenaga/peralatan laboratorium dan di daerah perifer yang jauh dari
jangkauan fasilitas kesehatan. Distribusi RDT Malaria berupa dropping langsung
dari pusat ke Kab/Kota.
b. Obat
Anti Malaria (OAM)
Obat Anti Malaria yang digunakan di Provinsi Sumatera
Selatan yaitu kombinasi Dehydroartemisinin
Piperaquine (DHP) dan Primaquine.
OAM didapatkan dari pengadaan APBN yang langsung didistribusikan ke Kab/Kota
endemis malaria.
c. Alat/
Bahan Pengendalian Vektor
Alat/bahan yang digunakan untuk kegiatan pengendalian
vektor malaria (nyamuk Anopheles) yang
didapatkan dari APBN/GF Malaria tahun 2014 berupa kelambu berinsektisida, Mist
Blower, GPS dan Mikroskop Stereo.
Logistik malaria pada tahun 2014 lebih
banyak dibantu Kementerian Kesehatan melalui
pengadaan APBN dan Global Fund
Malaria tahun 2014 yang berupa :
NO
|
NAMA BARANG
|
JUMLAH
|
A
|
DEKONSENTRASI
APBN 2014
|
1
|
MIKROSKOP
STEREO
|
6
UNIT
|
2
|
GPS
|
5
UNIT
|
3
|
MIST
BLOWER
|
1
UNIT
|
4
|
OBAT
ACT
|
3000
CURE
|
B
|
GLOBAL
FUND
|
1
|
KELAMBU
BERINSEKTISIDA
|
13.050
BUAH
|
2
|
RDT
MALARIA
|
41.125
TEST
|
5.
RENCANA
TINDAK LANJUT
Sehubungan dengan kondisi tersebut, langkah strategis
yang diambil dan akan dilaksanakan adalah :
a. Akselerasi
pengendalian malaria di daerah di daerah fokus (tambang, pertanian, kehutanan, transmigrasi, dll), melalui ;
- Penemuan
secara aktif melalui pemeriksaan darah massal (mass blood survey) dan kegiatan aktif lainnya.
- Penemuan secara pasif dengan pemeriksaan dengan
konfirmasi mikroskopis/RDT bagi penderita klinis malaria di Fasyankes.
- Intensifikasi
pengobatan dengan ACT di semua fasilitas kesehatan
- Kelambunisasi
massal di desa endemis tinggi (API≥5) dengan target minimal 80% penduduk.
- Distribusi
kelambu berinsektisida untuk ibu hamil dan balita di desa endemis sedang (API
1-5).
- IRS
di desa dengan API yang sangat tinggi
b. Penguatan
surveilans dan pencegahan KLB di daerah potensial malaria serta peningkatan kualitas
laporan.
c. Penguatan
surveilans migrasi untuk daerah non endemis malaria/ telah mendapatkan
sertifikat eliminasi malaria.
d. Pemberdayaan
dan kemandirian masyarakat serta penguatan kemitraan.