Wednesday 2 October 2013

Pengendalian Malaria Sumsel


Penyakit Malaria saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, termasuk di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan data yang didapat, sekitar 80%  Kabupaten/Kota telah melaporkan adanya kasus malaria. 
Berdasarkan KEPMENKES RI Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria, maka berbagai upaya telah dilakukan Dinas Kesehatan Prov.Sumsel untuk pemberantasan malaria, mulai dari penemuan kasus, pemeriksaan laboratorium, pengobatan dan pengendalian vektor.
Indikator pencapaian program pemberantasan malaria yang ditetapkan Dirjen PP dan PL KEMENKES RI  adalah nilai API (Annual Paracite Incidence) yaitu jumlah kasus positif malaria dengan konfirmasi laboratorium per 1000 penduduk.
Jumlah kasus klinis malaria Prov. Sumsel tahun 2012 sebanyak 45.720 kasus tanpa kematian dengan AMI (Annual Malaria Incidence) sebesar 9,41/1000 penduduk.
Dari kasus klinis tersebut yang dikonfirmasi laboratorium sebanyak 27.829 kasus, dengan  jumlah  positif  menderita malaria sebanyak 4.284 kasus dan nilai API sebesar 0,62 per 1000 penduduk,  nilai  ini termasuk dalam kategori kasus malaria rendah (low case incidence).
Kasus positif malaria yang tertinggi terdapat di Kabupaten Lahat dengan nilai API 4,69 per 1000 penduduk,   kemudian Kota Lubuk Linggau dengan API 2,58 dan Kabupaten Musi Rawas sebesar 1,13 per 1000 penduduk.
Hingga saat ini terdapat 6 Kabupaten/ Kota yang endemis malaria sedangkan 8 Kabupaten/ Kota lainnya digolongkan pada daerah sedang dan rendah dan 1 Kota lainnya yaitu Kota Palembang daerah bebas malaria. Penanganan kasus yang diberikan pada umumnya melalui pengobatan Radikal dengan konfirmasi laboratorium dan bagi kasus klinis tanpa konfirmasi diberikan pengobatan klinis malaria di Puskesmas atau Rumah Sakit.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan melalui Seksi Pengendalian Penyakit menetapkan tujuan program pengendalian malaria yaitu Menurunkan angka Kesakitan dan Kematian akibat malaria pada tahun 2012 menuju eliminasi malaria tahun 2020 di Provinsi Sumatera Selatan.
Menurut  Dirjen PP & PL Kemenkes RI bahwa untuk  percepatan eliminasi malaria maka dikeluarkan kebijakan pengendalian malaria yaitu :
a.  Stop Malaria Klinis. Semua diagnosa malaria harus terkonfirmasi laboratorium/ RDT.
b. Stop Klorokuin. Berdasarkan rekomendasi dari Komisi Ahli Diagnosis dan pengobatanArtemisinin – based Combination Therapy ( ACT ) sebagai Obat Anti Malaria untuk semua jenis plasmodium, Klorokuin tidak dipergunakan lagi untuk pengobatan malaria.
c. Pengendalian vektor malaria, meliputi : Indoor Residual Spraying (IRS), penggunaan kelambu berinsektisida, dan lain-lain.
d.  Kerjasama lintas sektor dan lintas program untuk meningkatkan peran serta aktif masyarakat.

Adapun program dan kegiatan pemberantasan malaria yang telah dilakukan Dinas Kesehatan Prov.Sumsel tahun 2012/2013 adalah sebagai berikut : 
1.  Penemuan dan Pengobatan Penderita
a. Pembagian RDT Malaria untuk ketepatan penegakan diagnosis malaria positif, terutama digunakan pada daerah perifer dimana jauh dari pelayanan kesehatan yang dilengkapi pemeriksaan mikroskopis.
b. Pendistribusian obat malaria ke Kab/Kota, terutama di daerah endemis malaria. Obat malaria tersebut berasal dari Kementrian Kesehatan RI yang didistribusikan langsung oleh Bagian Farmakmin Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan.
c.  Pembagian Laboratorium Kit untuk pemeriksaan malaria di Puskesmas dan RDT malaria untuk screening malaria di daerah perifer yang tidak memiliki pemeriksaan dengan mikroskop.

  1. Pemberantasan Vektor
a. Pembagian kelambu berinsektisida (LLINs) di daerah endemis malaria, terutama untuk ibu hamil (ANC Terpadu).
b. Pembagian insekisida Altosid untuk pemberantasan jentik Anopheles di daerah yang menjadi breeding place (perindukan) anopheles.

Diharapkan dengan program-program yang telah dilakukan, eliminasi malaaria tahun 2020 di Provinsi Sumatera Selatan dapat tercapai.




Thursday 18 April 2013

Situasi Malaria Sumsel Th 2012



Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sedang berkembang saat ini dengan luas wilayah ±  87. 017,42 Km² yang terdiri dari daerah pegunungan dan dataran rendah / rawa-rawa. Secara administratif, propinsi Sumatera Selatan terdiri dari 11 kabupaten dan 4 kota dengan total jumlah penduduk saat ini mencapai ± 6.628.146 jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,5 % per tahun dengan mobilitas penduduk yang tinggi.
Adapun fasilitas kesehatan yang dimiliki provinsi Sumatera Selatan saat ini yaitu terdiri dari 42 Rumah Sakit, 245 Puskesmas, 928 Puskesmas Pembantu (Pustu) dan 6.257 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Secara geografis, lahan-lahan di daerah Sumatera Selatan terdiri dari hutan perkebunan, pertanian / persawahan dan perkebunan dimana banyak terdapat tempat perindukan di persawahan dan perkebunan. Pada saat musim tanam / panen penduduk banyak yang bermukim di lokasi pertanian dan perkebunan. Untuk saat ini, telah terdapat 6 kabupaten endemis malaria dari 15 kabupaten / kota yang ada (40%).

SITUASI MALARIA PROV. SUMSEL TAHUN 2012

Malaria adalah penyakit yang disebabkan parasit plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Penyakit Malaria  hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, termasuk di Prov. Sumsel. Semua Kabupaten/Kota telah melaporkan adanya kasus malaria dan hampir  80% merupakan daerah endemis malaria.
Kondisi geografis Prov. Sumsel yang terdiri dari rawa-rawa, perkebunan dan hutan merupakan habitat alami dari vektor nyamuk Anopheles. Berdasarkan survei vektor yang dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2007, spesies anopheles yang menjadi vektor malaria di Prov. Sumsel antara lain jenis An.Vagus, An.Hyrcanus dan An.Barbirostris.
Penyakit malaria dapat menyebabkan kekurangan darah (anemia)  pada penderita , karena sel-sel darah merah dihancurkan oleh Plasmodium. Pada ibu hamil, malaria dapat menyebabkan gangguan pada ari-ari (placenta) dengan akibat bayi lahir mati atau bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Selain itu, pada kasus malaria berat dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah otak sehingga menimbulkan kejang, koma, hilang kesadaran dan ingatan bahkan kematian.
Berbagai upaya telah dilakukan Dinas Kesehatan Prov.Sumsel untuk pemberantasan malaria, mulai dari penemuan kasus, pemeriksaan laboratorium, pengobatan dan pengendalian vektor.
Berdasarkan laporan yang didapat dari Dinas Kesehatan Kab/Kota, terdapat tren menurun setiap tahunnya. Pada tahun 2012 jumlah kasus malaria klinis mencapai 45720 kasus, dengan 27829 kasus telah dilakukan pemeriksaan laboratorium dan jumlah positif malaria sebesar 4284 kasus.  Jumlah kasus di tahun 2012 cenderung tinggi dikarenakan meningkatnya upaya cakupan dan penemuan kasus malaria yang ditandai dengan adanya laporan setiap kasus malaria yang terdapat di Puskesmas dan Dinkes Kab/Kota.


Grafik.1
Berdasarkan Kepmenkes Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria, Prov.Sumsel sudah mencapai Tahap Pemberantasan dan menuju Tahap Pra Eliminasi dengan situasi yang dicapai meliputi :
  1. Belum semua unit pelayanan kesehatan mampu memeriksa kasus secara laboratorium/ RDT.
  2. Adanya peningkatan kualitas dan cakupan upaya pengendalian malaria (surveilans, penemuan dan pengobatan, pemberantasan vektor) untuk mencapai API <1/1000 penduduk berisiko.
  3. Adanya keterlibatan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, lembaga internasional dan lainnya.

Salah satu yang menjadi indikator capaian program pemberantasan malaria yaitu nilai Annual Paracite Incidence (API). Pada tahun 2012 target capaian nilai API yaitu sebesar < 1,25 per 1000 penduduk.

Grafik. 2
Pada tahun 2012, nilai API Prov.Sumsel sebesar 0,62 per 1000 penduduk, nilai ini sudah mencapai target yang ditentukan yaitu <1,25 per 1000 penduduk.
Beberapa Kab/Kota yang mempunyai nilai API tertinggi antara lain Kab. Lahat sebesar 4,69/1000 penduduk, Kota Lubuk Linggau dengan API 2,68/1000 penduduk, Kab. Musi Rawas sebesar 1,13/1000 penduduk dan  Kab. Muara Enim sebesar 0,83/1000 penduduk.
Hal ini berkaitan dengan kesamaan kondisi geografis di Kab/Kota tersebut yang terdiri dari hutan, perkebunan, perairan dan areal pertambangan batubara yang memungkinkan menjadi tempat perindukan potensial bagi nyamuk Anopheles.


Grafik. 3
Grafik dan tabel di atas menunjukkan terdapat peningkatan  nilai API  pada tahun 2012. Hal ini dikarenakan cakupan dan penemuan kasus malaria serta pelaporan yang semakin baik. Jumlah kasus malaria yang valid sangat membantu dalam perencanaan program pemberantasan selanjutnya. Jika dilihat dari nilai API, maka Provinsi Sumatera Selatan termasuk dalam kategori Low Case Incidence (LCI) pada tahun 2012.
Tabel. 1
DATA CARA PEMERIKSAAN MALARIA KAB/KOTA SE-SUMSEL
TAHUN 2012





No
Kab/Kota
Tanpa Pemeriksaan
Mikroskop
RDT
1
OKU
0
1125
2326
2
OKI
1360
106
0
3
MUBA
5
2779
2383
4
MURA
1464
2620
2666
5
M.ENIM
0
4161
5551
6
LAHAT
4353
2979
0
7
PALEMBANG
0
0
0
8
PAGAR ALAM
3
0
0
9
PRABUMULIH
0
0
0
10
LUBUK LINGGAU
1734
295
19
11
BANYUASIN
2449
0
0
12
OKU TIMUR
1636
232
0
13
OKU SELATAN
2897
94
0
14
OGAN ILIR
14
6
0
15
EMPAT LAWANG
766
0
487

TOTAL
16681
14397
13432

Salah satu kendala dalam penegakan diagnosis malaria, yaitu belum semua Kab/Kota melakukan pemeriksaan malaria secara mikroskopis atau dengan Rapid Test Malaria (RDT). Sebagian masih menegakkan diagnosis secara klinis, sedangkan saat ini yang menjadi indikator adalah nilai API/ malaria positif dengan konfirmasi laboratorium (mikroskopis). Pada tahun 2012 ini, Dinas Kesehatan Prov.Sumsel telah menganggarkan dana dalam pengadaan RDT yang dibagikan ke seluruh Kab/Kota endemis malaria, terutama di Puskesmas yang belum memiliki mikroskop dan tenaga analis kesehatan.
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui baru sekitar 60% dari seluruh diagnosa kasus malaria yang telah dikonfirmasi laboratoium dan RDT. Pada tahun 2012, Kab.OKU dan Muara Enim telah melakukan pemeriksaan mikroskopis untuk semua kasus malaria, sedangkan untuk Kab/Kota yang lain belum semua terkonfirmasi laboratorium. Hal ini disebabkan karena tidak adanya tenaga analis kesehatan di Kab/Kota atau kurangnya keterampilan tenaga analis kesehatan di Puskesmas dalam pemeriksaan parasit malaria. Selain itu, sebagian Kab/Kota belum menganggarkan dana dalam pengendalian malaria, terutama dalam pengadaan RDT malaria.
Grafik. 4
Jika dilihat dari data di atas, jenis kelamin tidak terlalu signifikan pengaruhnya terhadap kasus malaria khususnya di daerah endemis malaria, namun hal ini dapat ditegaskan jika sistem pelaporan menunjukkan jumlah penduduk antara laki-laki dan perempuan. Perbandingan persentase antara penderita laki-laki dan perempuan adalah 56:44.  Jika dilihat dari aktivitas keseharian, kasus malaria pada laki-laki lebih besar dikarenakan laki-laki mobilitasnya lebih tinggi dibandingkan perempuan, terutama pekerja perkebunan dan pertambangan yang terkadang harus bekerja hingga malam hari.


Grafik. 5
Kasus malaria banyak terjadi pada penduduk berusia produktif (  ≥15 ) berjumlah 2517 orang pada tahun 2012, dimana penduduk pada usia ini lebih pada aktifitas baik pada siang atau malam hari, sehingga resiko kontak dengan vektor malaria lebih besar. Selain itu, penderita balita (1-4 tahun) sebanyak 419 orang dan anak (5-9 tahun)  sebesar 551 orang termasuk jumlah yang relatif cukup besar dan butuh perhatian khusus, mengingat penyakit  malaria dapat mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak-anak.
Grafik. 6
Selain itu, terdapat 84 ibu hamil yang menderita malaria tertinggi di Kab.Musi Rawas sejumlah 43 orang. Hal ini perlu diwaspadai karena 80% kematian akibat malaria terjadi pada ibu hamil dan bayi.
Untuk itu perlu dilakukan program pemberantasan malaria secara terpadu dan terus menerus dengan melibatkan lintas sektor dan lintas program, serta peningkatan peran serta aktif Pemerintah Kab/ Kota setempat. Diharapkan dengan dukungan penuh Pemerintah serta peran serta aktif masyarakat, program eliminasi malaria di Provinsi Sumatera Selatan dapat tercapai pada tahun 2020.